Thursday, January 12, 2017

Candi Gunung Kawi Tampaksiring : Pusaran Kesunyian yang Begitu Tenang dan Menentramkan

Candi Gunung Kawi Tampaksiring ini adalah salah satu tempat wisata yang paling saya sukai dari semua tempat wisata yang pernah saya kunjungi di Bali. Berlokasi di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar candi ini berjarak 14 Km atau sekitar 30 menit berkendara dari Pusat Kota Ubud (Pasar Tradisional Ubud).
Dalam perjalanan menuju kesana, kita disuguhkan pemandangan alam khas daerah perbukitan di Bali. Sawah bertingkat dengan rumpun-rumpun padi hijau yang berdiri kokoh, air yang beriak tenang mengaliri system pengairan yang tertata dengan apik, rumah-rumah tradisional milik penduduk yang begitu indah dengan keunikan arsitekturnya, pohon-pohon kamboja tua dengan bunga mekar yang menyeruakkan aroma wangi di setiap tarikan nafas, dan yang paling saya sukai, angin sejuk pegunungan yang bergerak lembut meniup wajah dan rambut ke arah yang tak beraturan, bersama sinar matahari yang mengusap hangat pipi tirus ini dan sedikit memaksa mata untuk menyipit menghindari kilaunya.
Papan informasi penunjuk lokasi wisata Candi Gunung kawi terletak disebelah kanan jalan. Papan berwarna hijau dengan tulisan putih ini, menuntun kita memasuki sebuah jalan kecil dimana akan ada pos pemberhentian pertama. Di pos ini sudah menunggu beberapa orang “bli” yang akan menarik retribusi parkir bagi setiap kendaraan yang akan masuk ke lokasi wisata (Rp2000.00 untuk setiap motor). Mereka tampak gagah dengan pakaian adat yang mereka gunakan. Baju kemeja putih, dipadukan dengan kamen atau kain sarung sebagai bawahan, yang kemudian ditutupi oleh saput atau ada juga yang menyebutnya kampuh serta diikat dengan umpal atau selendang pengikat. Kesempurnaan penampilan mereka dihadirkan dengan penggunaan udeng atau ikat kepala. Dengan ramah para bli ini akan melayani kita dan menunjukkan arah langsung menuju pos pemberhentian kedua.
Berjalan lurus sekitar 50m kita akan sampai pada sebuah area parkir sepeda motor. Kita akan disambut oleh sebuah pintu gerbang yang berdiri kokoh di tengah-tengah jalan masuk. Selain itu ada pula prasasti berbentuk batu bulat yang terletak disebelah kiri jalan masuk, sebelum pos kedua. Sewaktu saya kesana, saya tidak sempat membaca prasasti tersebut sebelum masuk, karena saking tidak sabarannya, tapi saya menyempatkan membacanya sesaat sebelum saya pulang dari sana. Hal pertama yang kita lakukan adalah menuju pos untuk membeli tiket masuk. Harganya Rp15.000,00/orang untuk dewasa. Selain membayar tiket masuk, di pos ini kita juga akan diberitahu untuk menggunakan kain sarung atau pun ikat pinggang sebelum memasuki kawasan Candi (ini adalah kebijakan umum bagi wisatawan di Bali jika hendak memasuki kawasan adat /suci). Karena ternyata selain candi, di dalam sana juga terdapat beberapa Pura yang disucikan oleh masyarakat.
Berjalan sedikit masuk menuju lokasi candi, kita akan melihat para penjaja kain dan barang-barang hasil kerajinan lainnya di sebelah kanan jalan masuk. Saya melemparkan senyum pada seorang ibu yang menawari saya untuk singgah, kemudian menggeleng halus pertanda saya menolak tawarannya. Tak ada paksaan dari ibu tersebut, dia membalas senyum saya dan berkata “nanti singgah ke sini kalo sudah selesai dari dalam ya mbok” (mbok : panggilan untuk gadis di daerah Bali, seperti mbak di daerah Jawa atau nona di daerah Timur Indonesia).  Saya hanya tersenyum dan berlalu perlahan, tak mengiyakan kata-kata ibu penjual, karena saya takut membuat janji yang nantinya tidak saya tepati.
Menuruni anak tangga pertama, saya disambut oleh bapak-bapak berpakaian rapi (tidak beda jauh dengan bli di pos pertama). Mereka mengecek keberadaan karcis msauk saya. Setelah memastikan bahwa saya memegangnya, mereka kemudian meminta dengan halus saya untuk memakai selendang pengikat pinggang yang sudah disediakan, sebelum saya masuk ke kawasan candi (saat itu saya memakai celana panjang dan cardigan lengan penjang, sehingga saya tidak perlu memakai kain penutup kaki lagi, cukup menggunakan selendang pengikat pinggang saja). Kain dan selendang tersebut disediakan secara gratis oleh pihak pengelola. Jadi kita tak perlu membayar apapun lagi. Cukup dengan hanya menggunakannnya selama berada di dalam kawasan candi. Waktu itu saya dibantu oleh seorang bapak petugas untuk melilitkan selendang tersebut ke tubuh saya, karena saya tidak tahu cara menggunakannya. Sebuah pelayanan yang sangat ramah, apalagi bagi wisatawan yang tidak tahu seperti saya, rasanya sangat terbantu dan sangat dihargai. Setelah lengkap dan “pantas” untuk masuk, saya pun meminta diri kepada para bapak petugas jaga. Dengan begitu ramah mereka mengingatkan saya untuk berhati-hati dan perlahan menikmati setiap anak tangga yang akan saya jejak. Saya mengiyakan dan berterima kasih pada mereka, memberikan senyum termanis saya atas nasihat yang mereka berikan.
Belum lagi menapak anak tangga pertama, saya sudah terpukau melihat pemandangan yang ditawarkan. Sebuah papan nama berdiri tegak dengan latar belakang sawah hijau bertingkat. Sungguh sangat menyejukkan mata. Saya menghabiskan beberapa menit disana, menikmati suguhan alam yang begitu menyegarkan. Sejauh mata memandang tersaji warna hijau gugusan padi dan pepohonan yang berpadu apik dengan birunya horizon. Belaian angin sepoi-sepoi di bawah terik matahari siang begitu membuai, seakan menghentikan saya pada satu aliran waktu dan tak ingin pergi darisana.
Entah berapa lama tepatnya saya berada di pojokan itu sebelum kembali tersadar untuk melanjutkan perjalanan. Saya mulai melangkah menuruni anak tangga. Satu persatu memijakkan kaki pada tangga batu super keras dan kokoh, yang mungkin telah dibangun berabad-abad yang lalu. Beberapa kali saya berpapasan dengan wisatawan asing, mereka bergerak berlawanan arah dengan saya, tanda mereka telah mengakhiri kunjungan. Perlahan dan dengan sedikit payah serta nafas tersengal mereka meniti naik anak tangga. Sambil sesekali ada yang melemparkan senyum dan menyapa selamat pagi. Tapi ada juga yang hanya diam dan berlalu begitu saja. Semakin jauh saya melangkah ke bawah dan semakin banyak orang yang saya temui, baru saya sadari bahwa ini akan menjadi sebuah perjalanan turun-naik tangga yang panjang, semoga saja tidak begitu melelahkan. Tidak semelelahkan apa yang orang-orang alami. Hahahha.
Di sepanjang jalan (tepatnya tangga) kita juga bisa menemukan penjua-penjual barang kerajinan. Tidak begitu banyak dan tidak begitu rapat, hanya satu-satu di pinggir jalan, di sebelah kiri atau kanan, sehingga tidak membuat macet dan riuh perjalanan. Mereka menawarkan dagangan dengan begitu tenang, tanpa memaksa, bahkan mengijinkan kita hanya untuk sekedar melihat-lihat dan bertanya. Sangat ramah! Sepanjang menuruni anak tangga, angin sepoi tak hentinya bertiup. Suara kicauan burung seolah datang dari segala arah, memberikan semangat untuk melanjutkan perjalanan. Begitu hampir tiba di pintu masuk batu ada kolam ikan disisi kanan jalan, mungkin saja milik salah satu pedagang. Kita bisa berhenti dan beristirahat sejenak disini, melihat ikan-ikan dengan aneka ukuran berenang dengan gemulai seolah sedang menampilkan pertunjukan tarian dalam air.
Tak jauh dari sana, sebuah jalan batu menurun di sebelah kiri (dengan anak tangga yang lebih lebar) akan menghantarkan kita pada sebuah pintu batu berukuran persegi panjang dengan dimensi sekitar 2x4 m. Bagi saya melewati pintu ini seperti memasuki sebuah dimensi waktu yang berbeda. Meninggalkan hiruk-pikuk dunia di belakang dan menuju sebuah pusaran kesunyian yang begitu tenang dan menentramkan.
Saya berjalan menuruni anak tangga menuju ke arah sebelah kiri. Hal pertama yang saya liat adalah sebuah lubang besar dan luas yang terpahat di dinding batu (awalnya saya tidak tahu tempat  apa itu dan tidak begitu memperhatikan karena “hanya lubang saja”, selain itu jumlahnya juga ada beberapa di seluruh bagan candi, jadi menurut saya tidak begitu special. Tapi setelah saya membaca prasasti yang ada di pintu masuk baru saya tahu bahwa lubang-lubang itu adalah tempat pertapaan raja-raja dan keturunannya. Sedikit menyesal tidak mengabadikan gambar disana. hiiiks)Kemudian tepat disamping lubang pertama yang saya temui, saya melihat sebuah bukti sejarah yang begitu luar biasa. Bukti bahwa kerja keras nenek moyang untuk meninggalkan jejak bagi anak cucunya sangatlah total. Empat buah candi terpahat sempurna pada sebidang dinding batu. Sempurna karena presisi ukuran yang hampir sama lengkap dengan detail serta model yang serupa di setiap candinya. Seolah-olah bangunan tersebut di copy-paste, tak ada sedikitpun perbedaan yang mencolok. Luar biasa! Dengan keterbatasan alat dan ilmu pengetahuan pada zamannya ternyata orang-orang dahulu mampu menciptakan karya seni dengan begitu apik. Di bagian depan sebelah kanan candi tersebut terdapat sebuah Pura. Saya ingin melihat, tapi tidak berani mendekat. Mengingat pada saat itu saya sedang dalam periode menstruasi dan tak ingin menodai kesucian tempat yang dikeramatkan tersebut (mengikut pada kebiasaan orang Bali untuk tidak memasuki Pura pada saat periode menstruasi karena sedang berada dalam keadaan tidak suci).
Saya meneruskan perjalanan menuruni anak tangga (LAGI, hahaha). Di depan saya sebuah sungai mengalir cukup deras. Suara gemuruh air yang cukup kencang seolah-olah melenyapkan kebisingan akibat bunyi kendaraan. Karena suara air ini juga kita akan seperti lupa bahwa lokasi candi ini hanya berjarak beberapa meter dari jalan raya utama. Inilah yang paling saya sukai. Perasaan seolah-olah saya terbawa ke sebuah tempat dimana hiruk pikuk dunia (apalagi Bali yang super sibuk) tak lagi terasa. Seperti hanya ada saya di luasnya bangunan candi tersebut. Membelah sungai tersebut terdapat sebuah jembatan batu berwarna putih. Dari atas jembatan ini kita dapat menikmati aliran air kencang yang mengerus batuan kali beraneka ragam ukuran. Kita juga dapat melihat rimbunnya pepohonan hijau yang menghiasi tepian sungai. Juga sebuah pohon beringin dengan akar-akar nafasnya yang berjuntai jatuh seakan-akan ingin meraih air di bawahnya.
Berjalan mengitari jembatan ke arah sebelah kiri saya lagi-lagi berhasil dibuat terpukau oleh pemandangan di depan mata saya. Kali ini lima candi yang terpahat rapi di dinding batu. Meskipun tidak jauh berbeda dengan candi sebelumnya, namun karena jumlahnya lebih banyak, maka otomatis candi bagian ini terlihat lebih besar dan lebih luas daripada candi sebelumnya. Merupakan sebuah pekerjaan tangan yang begitu rapi dan sangat terfokus pada setiap detail. Kelima candi dibuat sangat identic dalam ukuran dan modelnya. Selain itu bagian candi ini dilengkapi dengan pancuran air serta kolam ikan di bagian depan pelatarannya.
Mengarah ke sebelah kiri dari lima candi ini, kita akan menemukan sebuah aliran air terjun kecil yang menambah semarak suasana dan kealamian dari tempat ini. Air terjun tersebut berada tepat di samping sebuah toko souvenir, yang mungkin sengaja dibangun sebagai tempat mengaso bagi para wisatawan. Di sana kita bisa duduk menikmati pemandangan sambil menikmati air kelapa muda yang dijajakan. Lurus ke arah belakang toko, kita bisa melihat sawah-sawah milik penduduk, yang kita lihat pada saat menuruni anak tangga. Tapi sayangnya terdapat sebuah tanda larangan  bagi wisatawan untuk memasuki daerah persawahan tersebut. Yah, cukuplah dengan menikmatinya dari jauh.
Kemudian saya memutar arah kembali menuju bangunan lima candi. Berjalan lurus memasuki sebuah kawasan yang ternyata adalah sebuah Pura. Suasana tampak sepi, tak ada aktivitas keagamaan disana, tak ada riuh perkumpulan masyarakat. Hanya beberapa pasang wisatawan mancanegara yang ditemani oleh tour guide mereka sedang menikmati pemandangan, seperti yang sedang saya lakukan. Tak lupa  berfoto untuk mengabadikan momen mereka.  (sebelumnya saya sudah bertanya pada dua orang ibu penjaja jajanan di dekat jembatan apakah boleh memasuki kawasan Pura tersebut berhubung karena saya sedang berada dalam periode menstruasi. Dan mereka mengatakan tak apa-apa.) Namun ada bagian dalam Pura yang tidak berani saya masuki, dan saya pilih untuk melewatkannya saja. Toh nanti kapan-kapan bisa saya kunjungi lagi bila sedang tak berhalangan. Puas menikmati, saya berjalan memutari Pura ke arah bukit. Hendak menikmati pemandangan ini dari ketinggian. Ternyata di atas sana masih ada beberapa Pura lagi. Tapi tak semua saya datangi, mengingat kondisi yang tidak memungkinkan. Saya hanya mengabadikan beberapa foto di atas sana dan kemudian memutuskan untuk berbalik pulang.
Berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah kembali ke pintu masuk menempatkan saya pada sebuah waktu untuk diri saya sendiri. Merenungkan betapa dahsyat-nya pekerjaan tangan Tuhan. Dia mampu menjadikan segala sesuatu indah meskipun terlihat begitu mustahil bagi pikiran dan logika manusia. Dan saya tak hentinya mengucap syukur untuk semua kebaikan yang boleh saya alami, termasuk kesempatan untuk menikmati salah satu karya-Nya Yang Agung.
Dalam perjalanan kembali ke “atas” (karena bangunan candi berada di bawah, hahaha) rasa lelah menyerang seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya. Belum lagi rasa haus yang menggerogoti kerongkongan dan mengeringkan bibir. Tapi sekali lagi keramahan para pedagang di sepanjang jalan dan senyuman manis setiap pengunjung yang saling berpapasan dapat mengurangi semuanya. Memberikan kekuatan untuk menyelesaikan perjalanan untuk kembali ke “dunia nyata”. Setiap pijakan menaiki anak tangga memberikan gambaran bahwa untuk mencapai puncak memang dibutuhkan pengorbanan, usaha, kerja keras dan keringat. Tapi dengan bantuan dan dukungan dari semesta, MESTAKUNG, sebuah perjalanan yang panjang dan berat sekalipun akan berhasil kita lalui dan kita menangkan.
Sampai jumpa di cerita perjalanan berikutnya.
Kuta, 12 Januari 2017
#pojoksempitrumahkayu